Separuh Aku, Kamu (Cerpen)
Rasanya Karina ingin mencakar wajah perempuan itu. Namun Karina
berusaha untuk menahan diri. Deliah tampak tenang di kursi kebesarannya.
“Aku memang sangat mencintai Damian. Kau puas?” itulah jawaban Deliah
saat ditanya perihal hubungannya dengan Damian. Karina mendesis geram.
“Dasar perempuan tak tahu malu,” rutuk Karina dalam hati.
“Ku kira Damian sudah tidak mencintaimu. Meskipun kau lebih dahulu
mengenal Damian, aku tidak akan menyerahkan Damian begitu saja. Damian
kini milikku. Dia suamiku.” Karina memberi penekanan suara pada kalimat
terakhirnya. “Setidaknya aku lebih unggul darimu. Dan Asal kau tahu kami
saling mencintai…”
Deliah tertawa keras mendengar perkataan Karina.
“Oh Ya? Teruslah bermimpi Karina. Ups.. Maaf maksudku Ny Damian.” Deliah
tertawa mengejek. “Tubuh Damian boleh saja di dekatmu, namun hatinya..
kita tidak pernah tahu hati Damian seperti apa? Apa kau tahu kalau
Damian selama ini tersiksa dengan harus memerankan dirinya dalam sebuah
lakon yang dia sendiri tidak ingin melakoninya..”
Karina mengernyitkan dahinya. Ia belum bisa menalar ucapan Deliah seluruhnya.
“Seorang aktor harus bisa memerankan suatu peran dalam sebuah film atau
drama. Meskipun peran itu tidak ia sukai, bahkan sangat sulit untuk ia
perankan.” Deliah mengeluarkan sesuai dari lacinya. Sebuah kotak kecil.
Bisa dipastikan kotak itu berisi cincin.
“Apakah kau masih bisa menyebut Damian mencintaimu setelah kau tahu
bahwa tadi malam kami kencan, dan Damian memberiku ini.” Deliah membuka
kotak tersebut. Deliah mengeluarkan sebuah cincin dan memakaikannya di
jari manisnya. Lalu tersenyum penuh kebahagiaan.
“Dia melamarku… Suamimu melamarku!!” Karina terperanjat. Wajahnya pucat
pasi. Berhasil. Deliah berhasil membuat Karina tak berkutik.
Karina mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Deliah. Ia ingin masih
mempercayai Damian, suaminya tidak akan selingkuh. Meskipun perubahan
sikap Damian padanya akhir-akhir ini sangat mencolok. Damian seperti
menghindar darinya. Pastilah perempuan ini yang telah menggoda suaminya
duluan.
“Damian selama ini hanya berpura-pura mencintaimu. Kau sudah merebutnya
dariku. Dan sekarang kau harus rasakan apa yang dulu pernah ku rasakan.”
Deliah menatap tajam seraya tersenyum. “Impas bukan?” Deliah
mengedipkan matanya, lalu tertawa panjang.
Karina sudah sangat gerah dengan pengakuan Deliah -perempuan nakal itu.
Dengan gerakan cepat, kuku-kuku Karina mendarat di pipi rival-nya.
Alhasil tiga garis merah tergambar di pipi Deliah yang putih dan mulus.
Deliah memekik sambil memegangi pipinya, rasanya begitu perih. Untung
saja di ruangan itu tidak ada orang lain, hanya ada dia dan Karina.
“Bagaimana rasanya?” Suara Karina bergetar, napasnya tidak beraturan,
amarahnya sudah meledak. Hatinya begitu sakit. Air mata yang sedari
tadi ia tahan, kini sudah menggenang di pelupuk mata.
“Perih bukan? Perih itu tidak sebanding dengan perih di hatiku saat
ini.” air mata itu kini tumpah. Dadanya sakit. Sakit karena menahan
amarah, sakit karena dikhianati.
Deliah tersenyum sinis.
“Aku tidak pernah merebut suamimu. Suamimulah yang datang padaku.” Ujar
Deliah. Ia tidak ingin dianggap wanita murahan oleh wanita lemah di
hadapannya itu.
“Tidak mungkin!” Karina menyanggah pernyataan Deliah tersebut.
Deliah tertawa kecil.
“Apa yang tidak mungkin Karin, Suamimu sangat mencintaiku. Bahkan dia
tergila-gila padaku. Aku lebih cantik dari kamu Karin, dan saat ini
lebih kaya tentunya!” Deliah tertawa keras.
“Sikap romantis Damian hanyalah kamuflase Karin, aku yang menyuruhnya
berpura-pura baik padamu. Aku tidak tega melihat wanita sebaik kamu
harus patah hati karena tidak mendapatkan cinta dari suamimu sendiri.”
Ucapan Deliah begitu menyakiti hati Karina. Tidak sepantasnya seorang
wanita berkata seperti itu kepada wanita lain, apalagi dalam hal ini
dia salah. Gila -ya Karina pikir Deliah sudah tidak waras. Wanita itu
sudah terobsesi terhadap suaminya. Ia akan melakukan hal yang sia-sia
jika berlama-lama di ruangan ini, bersama selingkuhan suaminya yang
gila. Karina mengambil tasnya, dan meninggalkan Deliah yang masih
tertawa.
—
Di rumah, Karina mengurung diri di kamar. Ia tidak lagi mengurus
rumah. Rumahnya dibiarkan berantakan. Bahkan untuk mengurus keperluan
Damian pun ia malas. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari sudut
matanya. Ia ingin menumpahkan semua kesedihannya di kamar, tanpa
gangguan siapapun -tak terkecuali Damian.
Brakk.. pintu kamar terbuka. Karina terlonjak dari tidurnya. Kaget.
Damian berdiri di depan pintu dengan sorot mata tajam. Rahangnya nampak
mengeras. Sepertinya ia sedang marah.
“Apa kau yang melukai Deliah?” Damian melangkah maju menghampiri Karina
yang masih terduduk di ranjangnya. Karina masih tidak percaya dengan apa
yang barusan ia dengar. Apakah Damian mengkhawatirkan perempuan gila
itu? Karina merasakan cemburu. Hatinya kembali merasakan seperti
disayat-sayat. Perih.
“Kau marah?” Karina turun dari ranjangnya. “Ya! Akulah yang
mencakarnya, bahkan aku ingin sekali membunuhnya. Dia murahan. Dan tak
tahu malu! Mencintai lelaki yang sudah milik orang lain, dia merebutmu
dariku!” teriak Karina sedikit frustasi, amarahnya sedang bergejolak.
Tak ada tatapan teduh Damian yang ia rindukan, digantikan dengan tatapan
kebencian yang jelas kentara di wajah lelaki itu. Tidak ada lagi binar
cinta di sana. Emosi kini sedang menguasai keduanya.
“Dia tidak merebutku dari kamu Karin! Kamulah yang merebutku dari tangannya.” Pernyataan Damian benar-benar membuat Karin shock.
“Asal kamu tahu Karin, Deliah adalah cinta lamaku. Aku masih sangat
mencintainya. Kita dijodohkan oleh orangtua kita.. tanpa cinta!”
“Cukup!” Karina menutup telinganya. Ia tidak ingin mendengarkan kata-kata menyakitkan Damian.
Apakah lelaki itu sadar telah menyakitinya? Jika memang tidak ada
cinta, lalu perlakuan apa yang ditunjukkan oleh lelaki itu. Semuanya
terasa hangat, dan Karina bisa merasakan ketulusan dan penuh cinta dari
sikap Damian. Masih segar dalam ingatan Karin bagaimana Damian
membacakan puisi-puisi cinta untuknya tiap malam, mengucapkan kata
romantis dan memberikan morning kiss tiap pagi. Sekarang, Damian
mengatakan bahwa pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta. Hatinya
ngilu mendengar pernyataan Damian. Karina tidak membutuhkan sikap
romantis Damian jika yang semua itu hanya kebohongan.Tangisnya pun
pecah. Badannya terasa lemas, kakinya tak mampu menahan berat tubuhnya.
Ia terduduk di lantai.
Damian melangkah meninggalkan istrinya yang masih menangis di lantai.
Ia meremas dadanya, menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya.
“Maafkan aku Karin..” gumam Damian seraya meninggalkan rumah itu.
Tiga tahun kemudian.
Seorang perempuan duduk di kursi roda. Matanya sayu, wajah cantiknya
tertutupi oleh guratan kesedihan. Ia seperti tidak memiliki gairah
hidup. Pandangannya lurus ke atas, menatap hamparan permadani langit
yang membiru -tanpa awan. Ia merasakan kedamaian setiap melihat langit
itu. Kedua sudut bibirnya membentuk lekukan tipis, meski tidak begitu
kentara, namun senyumnya kali ini terlihat begitu manis. Sudah lama ia
tidak tersenyum. Bahkan ia lupa bagaimana cara membuat dirinya
tersenyum.
Air matanya mengalir di sudut matanya yang sayu. Kesedihan itu datang
bertubu-tubi. Ia harus kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya.
Dari mulai orangtua dan mertuanya yang meninggal karena kecelakaan
mobil, lalu disusul suaminya yang menemukan cinta lamanya, lalu tega
meninggalkannya. Ia benar-benar sedih dengan kisah hidupnya yang tak
berakhir bahagia.
“Karin.. ”
Ia menoleh ke sumber suara. Dan mendapati seorang lelaki berwajah
tampan sedang tersenyum padanya. Lelaki itu menghampirinya, dan
memeluknya hangat.
“Kenapa di luar?” tanya lelaki itu lembut. “Ayo kita masuk.” Lelaki itu
mendorong kursi roda, membawa Karin masuk ke dalam rumah.
—
Damian hanya bisa menatap sendu pada gundukan tanah yang masih basah.
Perempuan yang pernah dicintainya telah berpulang ke pangkuan Tuhan.
Setelah berdoa, Damian segera meninggalkan tempat peristirahatan Deliah.
Damian sudah ada janji untuk bertemu seseorang di sebuah dermaga.
Sesampainya di dermaga, Damian segera menemui orang tersebut.
“Kak Damian.” Damian menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki berkaos
hitam dengan kacamata hitam tampak tersenyum padanya, dan mereka
berpelukan.
“Garin, Mana dia?” tanya Damian. Garin adalah adik sepupu Damian.
“Sepertinya ada yang kangen berat.” Ledek Garin dan tertawa ketika
melihat Kakaknya salah tingkah. “Sesuai janji, dia ada di sana.” Garin
menunjuk jembatan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Tanpa menunggu lama, Damian segera berlari menuju jembatan dengan
semangat, ia ingin segera menemui seseorang yang begitu ia rindukan.
Sesampainya di jembatan, Damian mengatur napasnya yang tersengal-sengal
karena terlalu bersemangat ketika berlari. Jantungnya berdenyut tak
beraturan. Ia sedikit gugup ketika melihat orang yang dicintainya berada
tak jauh dari tempatnya berdiri.
Damian segera menghampirinya.
“Karin…”
Suara deburan ombak dan angin membuat suara Damian tenggelam dan
hampir tak terdengar. Damian berdiri di samping kursi roda Karina.
“Karin..” Dengan lembut Damian membelai rambut panjang Karin. Karina
menoleh, baru menyadari kehadiran Damian. Ekspresinya begitu datar,
bahkan pandangan Karin tampak kosong. Tubuh tampak lebih kurus. Tampak
Karin begitu depresi ketika dirinya meninggalkannya.
“Maaf Karin sayang.” Damian memeluk tubuh Karin. Selama ini ia hanya bisa mendapatkan info tentang Karin dari adiknya, Garin.
Karina hanya diam. Air matanya mengalir di pipinya. Suara Damian seolah
memanggil-manggil jiwanya. Ia merasakan kehadiran Damian. Tapi tubuhnya
begitu lemah.
Damian duduk bersimpuh di hadapan Karina. Kedua tanggannya memegang kedua tangan Karina. Lalu menciuminya.
“Karin aku sangat merindukanmu. Maafkan aku jika aku meninggalkanmu
terlalu lama.” Damian meletakkan kepalanya di pangkuan Karina.
“Aku ingin menjelaskan semuanya.. aku tidak ingin kau terus membenciku
Karin. Deliah sakit kanker, dokter memprediksikan usianya tidak akan
lama. Dan ia ingin aku menuruti permintaan terakhirnya. Mendampinginya
di sisa usianya.” Damian memulai penjelasannya.
“Awalnya Deliah memintaku untuk menikahinya. Namun aku menolaknya.”
Damian menatap Karina. Tatapan Karina kosong. Damian mencium pipi
Karina.
“Karena kau. Aku mencintaimu. Deliah sangat marah ketika tahu aku sudah
mulai jatuh cinta padamu. Namun ia tidak bisa menyalahkan aku seratus
persen. Karena ada campur tangan Deliah juga kenapa aku bisa jatuh cinta
padamu. Dialah yang menyuruhku untuk selalu baik padamu.”
“Hatiku sakit ketika melihatmu menangis waktu itu. Aku sangat merindukanmu istriku.” Damian memeluk tubuh Karina.
“Aku mencari cara untuk bisa selalu memantaumu. Aku pun mengirim Garin
untuk merawatmu sekaligus memberiku informasi tentang keadaanmu. Karin,
tolong maafkan aku!”
Air mata Karin menetes di kedua sudut matanya. Ia bisa merasakan
degup jantung seseorang yang memeluknya. Nyaman sekali. Namun ia tidak
tahu siapa orang tersebut. Rasanya seperti saat dipeluk Damian. Damian?
Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu. Damian menangis ketika
membaca surat yang ditulis Karina dua tahun yang lalu. Di samping pusara
Karina, ia menyesali kebodohannya, dan tak henti-hentinya meminta maaf.
“Untuk: Suamiku tercinta
Dear suamiku,
Selama ini ku kira orang lain yang menjadi tembok antara aku dengan
dirimu, ternyata aku salah. Akulah tembok itu… aku dengan kejam
memisahkan dua orang yang sangat mencintai karena keegoisanku untuk
memilikimu. Kau pilihanku, namun kau sama sekali tidak memilihku. Rindu
yang ku rasa ini semakin menjadi-jadi setelah kepergianmu. Aku
kehilangan separuh nyawaku. Dan aku harus hidup dengan separuhnya lagi,
itu begitu sulit untukku.
Sayang. Aku selalu menantimu di depan pintu.. berharap kau akan
pulang karena merindukanku. Ternyata aku salah! Aku tak lagi bisa
melihatmu. Ku kira kau pun sudah lupa pernah menjadi bagian dalam
hidupku. Sayangku, aku sangat sangat mencintaimu… maafkan aku telah
menjadi tembok antara kau dan Deliah. Aku tak bisa menolak pesonamu.
Mengikat janji suci denganmu adalah kebahagiaanku. Dan aku akan setia
menunggumu. Sampai kau pulang sayang..
Istrimu,”