Masih jelas teringat di benak saya,
bertahun yang lalu, menjelang ujian nasional SMA, rasanya saya khawatir
sekali sampai sering terbangun di malam hari. Matematika adalah momok
yang menghantui saya selama berbulan-bulan sebelum ujian. Saya takut
tidak lulus ujian Matematika, meskipun di mata pelajaran lainnya saya
yakin saya bisa.
Sastra Indonesia dan antropologi, dua mata
pelajaran lain yang diujikan di ujian nasional untuk jurusan Bahasa,
bisa saya lahap dengan mudah.
Tetapi entah mengapa, di hari setelah
ujian Matematika, saya pulang ke rumah dengan tatapan dan kepala kosong.
Yang saya pikirkan cuma satu, "Gimana kalau aku gak lulus Matematika?"
Ibarat mengukur kemampuan ikan dan tupai dengan tes memanjat pohon. Sistem pendidikan kita kadang justru menenggelamkan bakat kita sebenarnya, adilkah?
Saya gak sendiri. Ribuan pelajar se-Indonesia hingga hari ini menanggung momok yang sama. "Aku jago kok di pelajaran kesenian, tapi aku gak bisa matematika," atau "Aku anak olimpiade Biologi, tapi aku gak begitu mampu di bidang Sosiologi." Akhirnya rasa minder dan ketakutan muncul karena satu kata: standarisasi.
Manusia diciptakan dengan kemampuan dan
ketertarikan yang berbeda-beda. Memang, bisa aja sih kita yang tak
tertarik biologi dipaksa untuk bisa menyukai biologi atau sebaliknya,
mereka yang lebih suka sains daripada bidang humaniora, dipaksa untuk
memahami hal yang tak disukainya. Tetapi apakah 'pemaksaan' adalah
tujuan dari pendidikan yang selama ini kita enyam bertahun-tahun di
bangku sekolah?
Banyak pihak yang menuntut agar Ujian Nasional dihentikan. Ujian Nasional mendorong guru dan murid belajar hanya untuk tujuan lulus ujian.
Ujian Nasional dianggap sekedar memberikan
standarisasi yang sifatnya 'pukul rata' tanpa memperhitungkan
keberagaman kemampuan murid satu sama lain. Standarisasi ini kurang bisa
menggambarkan perkembangan kemampuan siswa yang berbeda-beda, baik dari
sisi internal siswanya ataupun dari infrastruktur sekolah yang
berbeda-beda.
Lantas, apakah si A yang gak lulus Ujian
Nasional Biologi lebih bodoh daripada yang lainnya? Tentu saja kita tak
bisa serta-merta menempelkan label 'bodoh' ke siswa-siswi yang tidak
lulus ini. Karena toh kita semua tahu, sistem pendidikan yang
menggeneralisir kemampuan siswanya melalui ujian yang dilakukan hanya
dalam hitungan hari, tidak dapat mewakili ukuran kemampuan seseorang.
Ibaratnya, sistem pendidikan yang
menyamaratakan semua kemampuan murid sekolah adalah mengukur kemampuan
ikan dan tupai dengan tes memanjat pohon. Ikan dan tupai punya kemampuan
yang berbeda-beda, diciptakan dengan keunikannya masing-masing. Apakah
tes memanjat pohon yang lebih menguntungkan tupai, adil bagi ikan? Lalu,
apakah ikan yang jago berenang dengan habitat di air, lebih bodoh
daripada tupai?
Sudah saatnya Indonesia menjadi 'besar' dengan menciptakan banyak ahli sesuai kapasitasnya.
Di Indonesia, banyak orang pintar.
Termasuk kamu yang membaca tulisan ini. Jika Indonesia mau menjadi
bangsa yang besar, sudah waktunya menciptakan banyak ahli sesuai
kapasitasnya. Tak hanya menilai berdasarkan standar nilai 10 hingga 100,
melalui satu-dua mata pelajaran yang diujikan dan dijadikan standar.
Mengenal banyak subyek mata pelajaran
memang baik supaya wawasan berkembang. Tetapi tak seharusnya ujian
nasional secara teoritis menjadi parameter. Apalagi jika yang menentukan
lulus atau tidaknya Ujian Nasional seseorang bukan dari penilaian
menyeluruh guru, melainkan sekedar jawaban bulatan hitam yang discan melalui komputer.
Jika tak ada Ujian Nasional yang menjadi tolak ukur kemampuan siswa di seluruh negeri ini, lalu bagaimana cara menilainya?
Sebuah usulan yang entah bisa diterapkan
ataukah cukup bijak, adalah mengukur dan mengevaluasi hasil belajar tak
hanya sekedar angka. Misalnya dengan memberikan tugas akhir berupa
proyek yang kompleks. Bisa jadi untuk anak-anak yang menyukai bidang
kesenian diminta untuk membuat sebuah proyek musik, dimulai dari proses
mengkonsep, membuat perencanaan dana, manajemen waktu, proses penciptaan
karya hingga mewujudkan konsep menjadi karya yang nyata. Ada unsur
matematis, unsur estetis hingga unsur kreatif di dalamnya, yang bisa
menjadi bekal seorang anak untuk siap berkarya di masyarakat.
Indonesia memang membutuhkan sebuah
parameter kinerja pendidikan. Tetapi Ujian Nasional bukanlah metode yang
tepat menyamaratakan kemampuan siswa yang berbeda-beda. Karena saya
percaya, tujuan pendidikan di negeri ini bukanlah sekedar pengajaran dan
ilmu pengetahuan, tetapi pembentukan karakter dan pola pikir agar
anak-anak bangsa kelak siap menjadi masyarakat yang mandiri dan
bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar